Oleh: Andi Arsana | Februari 20, 2009

Dunia yang punah dari Flores: Antara Hobit dan Jablay

ngm.nationalgeographic.com

ngm.nationalgeographic.com

Dunia ilmu pengetahuan sempat digemparkan dengan ditemukannya spesies jenis manusia (homo) di Flores pada tahun 2003 yang akhirnya dikenal dengan Homo floresiensis. Munculnya kisah ini di majalah Nature, majalah ilmiah di jajaran kasta tertinggi ilmu pengetahuan mahkluk bumi, membuat kisah ini menyita perhatian dunia.

Hari Kamis, 19 Februari 2009, masyarakat Indonesia di Wollongong beruntung karena bisa mendengarkan kisah ini langsung dari salah seorang peneliti yang terlibat. Dr. Gert van den Bergh adalah seorang geolog berkebangsaan Belanda yang saat ini sedang menjadi peneliti tamu di University of Wollongong. Kedekatannya dengan masyarakat Indonesia di Wollongong membuat beliau bersedia memberikan sesi istimewa seputar kisah menggemparkan ini dalam diskusi bulanan mahasiswa/masyarakat Indonesia di University of Wollongong. Istimewanya, Dr. Gert van den Bergh akan mempresentasikan materinya dalam Bahasa Indonesia.

Jam 9.45, 15 menit sebelum jadwal diskusi, panitia sudah siap di ruangan 1017 di gedung 19 (Faculty of Art) kampus Wollongong. Pak Gert, demikian peneliti ini biasa disapa, datang bersama istri tercinta, mbak Indah yang adalah orang Indonesia. Beliau sudah siap dengan satu hardisk kecil berisi presentasi. Sebentar kemudian panitia sudah menyiapkan laptop dan dalam sekejap materi presentasi sudah tampil di layar. Waktu belum menunjukkan pukul 10, Pak Gert keluar membeli kopi. Saking sederhananya, panitia sampai lupa menyiapkan minuman untuk pembicara. Beginilah kalau mahasiswa Indonesia sedang bersimpati pada keprihatinan di tanah air (sekedar alasan).

Satu per satu peserta muncul. Pak Garda datang dengan wajah cerah seperti biasa. Kali ini lebih istimewa karena dari dalam tas beliau keluar botol berisi jus jeruk lengkap dengan gelas plastiknya. Tidak saja moral, Pak Garda memberi dukungan materi. Sesaat kemudian datang Mas Tri Astoko, siap mengikuti diskusi. Berikutnya menyusul Adit, mahasiswa baru di Teknik Mesin. Pak Nadir juga muncul dengan kelakarnya seperti biasa. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 lebih sedikit, peserta belum banyak. Berkali-kali panitia minta kesabaran dan pengertian Pak Gert untuk menunggu sebentar lagi. Ternyata Pak Gert yang sudah terbiasa bergaul dengan orang Indonesia (bukan Mbak Indah lo) bisa memaklumi situasi ini. Suasanapun diisi dengan ngobrol santai.

Kedatangan Pak Kresno dijadikan gong mulainya diskusi. Mungkin karena merasa sedikit bersalah, Pak Kresno datang dengan satu container kue yang enak (peace Mas Kresno!). Pak Nadir berkelakar, diskusi belum dimulai karena mununggu Pak Kresno. Suasana jadi lebih santai lagi. Panitia memulai acara dengan sekilas mengenalkan kembali Pak Gert. Pak Gert pun mulai presentasinya dan diberi waktu hingga 45 menit.

Pak Gert mulai dengan sejarah geologi Nusantara, menyajikan sebuah peta Nusantara 10 juta tahun lalu (buset dah, PhD empat tahun aja rasanya lama bener apalagi berjuta-juta tahun). Dalam peta itu nampak wilayah Indonesia yang dioverlay dengan layer warna tertentu. Ternyata warna itu menunjukkan perbedaan daratan, laut dangkal dan laut dalam. Dalam peta itu nampak bahwa 10 juta tahun lalu formasi nusantara jauh berbeda dengan hari ini. Pulau-pulau di sebelah timur Jawa, misalnya, ternyata belum ada, termasuk Flores. Bentuk Sulawesi, misalnya, juga tidak seperti sekarang, cenderung lebih kecil luasannya. Pengantar ini disampaikan Pak Gert untuk mengarahkan pada pemahaman bahwa ada kawasan yang dulu bersatu dan sekarang terpisah, atau yang dulunya belum ada sekarang ada. Hal ini juga yang menjelaskan mengapa adanya kesamaan fauna di beberapa kawasan yang berbeda pulau atau benua. Misalnya, sebagian Papua dulunya adalah satu daratan dengan Australia sehingga ada kesamaan fauna meskipun tetap ada perbedaan mengingat kondisi alam dan iklim yang tidak sama.

Peserta diskusi berpose bersama Pak Gert

Peserta diskusi berpose bersama Pak Gert

Penjelasan dilanjutkan dengan aktivitas Alfred Russel Wallace yang meneliti fauna di Nusantara. Dari sini juga ditemukan bahwa jenis fauna di nusantara terkelompok-kelompok sedemikian rupa. Dari hasil kajian ini, dikenallah Garis Wallace. Garis ini memisahkan jenis fauna di Sulawesi ke arah timur dengan yang ada di Kalimantan ke barat. Ditegaskan bahwa di di Sulawesi ditemukan fauna yang 100% unik dan memang khas Sulawesi, tidak ditemukan di kawasan lain. Sementara itu, di Flores sendiri 86% fauna unik.

Mirip dengan Wallace, seorang dokter Belanda, Eugine Dubois memiliki ketertarikan akan sejarah makhluk hidup terutama nenek moyang manusia (yang SMP-nya tahun 80-90 an mestinya masih inget nih dari pelajaran sejarah di kelas 1). Dia berangkat ke Indonesia dengan menjadi tentara KNIL, satu-satunya cara untuk mendatangi Nusantara ketika Belanda berkuasa. Di Trinil, Jawa dia menemukan tengkorak yang kemudian diberi nama ilmiah Phitekantropus erectus. Nama ini berarti ”manusia kera yang berjalan tegak”. Pak Nadir dengan cerdas dan cepat memahami istilah ”erektus” itu memang berarti ”tegak”. Hadirin lain tentu saja senyum-senyum saja pura-pura tidak mengerti. Menariknya, konon temuan ini mendapat tanggapan skeptis dan negatif dari masyarakat sekitar, termasuk orang berpendidikan di Indonesia jaman itu. Ada juga yang mengatakan, itu manusia yang dikutuk atau hasil perkawinan antara manusia dengan sejenis mahkluk halus. Demikianlah, pengetahuan ilmiah selalu mendapat tantangan skeptisisme.

Di Sangiran, masih di Jawa juga, ditemukan juga tengkorak lain yang akhirnya dikenal sebagai Homo erectus. ”Homo” berarti ”manusia” dan ”erektus”, tentu saja, tetap berarti ”tegak”. Manusia yang berjalan tegak. Sangiran dikenal sebagai situs yang paling kaya di seluruh dunia terkait peninggalan sejarah kehidupan manusia. Menariknya, fosil yang ditemukan di Jawa berumur bahkan hingga 1,4 juta tahun lalu. Dibandingkan dengan Australia, misalnya, temuan ini sangat tua karena di Australia, fosil manusia tertua yang ditemukan berumur hanya 50 ribu tahun lalu (buset, 50 ribu tahun pakai ”hanya”. Pantas saja tadi Pak Gert tidak masalah presentasi molor 30 menit. Mungkin beliau terbiasa dengan skala waktu ribuan tahun kali). Dari sini bisa dilihat betapa mudanya peradaban manusia di Australia. Mungkin itu sebabnya di lagu kebangsaannya ada kata-kata ”we are young and free”. Sudah muda, bebas pula! Namun begitu, peradaban muda ini tentu ada konsekuensinya. Australia tidak memiliki manusia kera seperti yang ditemukan di Jawa. Spesies yang ditemukan di Australia adalah jenis Homo sapiens yang sudah ganteng dan cantik seperti pembaca tulisan ini (kalau Anda bisa membaca ini, pastilah Anda bukan Phitekantropus erectus).

Di tengah diskusi, muncul Bli Dodiek, mahasiswa teknik sipil, Guardian (health informatics), dan Mas Sayuti (pendidikan).

Pak Gert kemudian mulai menjelaskan tentang Flores. Beliau mulai dari kedudukan geografinya, dan sekilas struktur geologinya. Diceritakan, di Flores ada seorang pastor Belanda yang bertugas membina kehidupan beragama pada tahun 1960an bernama Theodor Verhoeven. Uniknya, pastor ini memiliki hobi arkeologi (mantap bener, hobi kok arkeologi. Kalau saja hobinya PS2, mungkin tulisan ini tidak akan ada). Di awal dan pertengahan 1960an Verhoeven melakukan penggalian untuk meneliti fosil  di Liang Bua, Flores dan mendapat berbagai temuan (ingat, ini sekedar hobi, lo). Salah satunya adalah tulang besar yang waktu itu disebut raksasa dan ternyata adalah tulang gajah. Temuan ini pun dipublikasikan tetapi tidak di majalah ilmiah melainkan di majalah keagamaan. Seperti halnya temuan Dubois, temuan ini pun mendapat tanggapan negatif dan skeptis dari para ahli. Apalagi ini dilakukan oleh seornag amatir yang meneliti hanya sebagai hobi (pelajaran moral dari cerita ini adalah: jangan menjadikan penelitan sebagai hobi).

Dimotivasi, salah satunya, oleh temuan Verhoeven ini, pada tahun 1978-1984 dilakukanlah penelitian oleh Prof. Soejono dari Arkeologi Nasional (Arkenas) di Liang Bua, Flores. Penggalian mencapai kedalaman 3,5 meter. Penggalian ini menemukan kuburan neolitikum yg berumur 2000 tahun lalu (kalau Anda bertanya-tanya kok bisa sih mengetahui umur hingga 2000 tahun lalu, sabar saja. Kalau Anda beruntung, tulisan ini akan memuat sedikit uraiannya). Ditemukan juga peninggalan Homo sapiens, manusia modern. Dalam penelitian ini disepakati bahwa jika ditemukan tulang manusia akan dibawa ke Jogja untuk diteliti oleh ahli Antropologi Ragawi yang juga seorang dokter: Prof. T. Jacob dari Universitas Gadjah Mada.

Setelah mencapai kedalaman tertentu, penggalian ini dihentikan secara sengaja karena diyakini sudah tidak ada lagi fosil yang akan ditemukan. Hal ini dimotivasi oleh asumsi umur peradaban/kehidupan di Flores yang diyakini relatif muda sehingga fosil hanya ada di lapisan atas.

Pada tahun 1993 terjadi kolaborasi antara Geological Research and Development Centre (GRDC) Bandung dengan Utrecht University (Belanda) untuk melakukan penelitian. Tim ini melakukan penggalian di lokasi yang sama dengan penelitian Verhoeven tahun 1960an. Di Mata Menae ditemukan artefak batu dan fosil Stegodon (gajah raksasa purba) dengan kisaran umur antara 880 ribu hingga 800 ribu tahun lalu. Di kawasan Tangi Talo juga ditemukan berbagai fosil Stegodon, komodo, dan kura-dan raksasa dengan kisaran usia 900 ribu hingga 800 ribu tahun lalu. Ditemukannya artefak mengarahkan pada keyakinan bahwa saat itu sudah ada manusia. Proyek penelitian inipun dihentikan, salah satu alasannya karena proyek sudah selesai dan temuannyapun dianggap cukup.

Pada tahun 2001 penelitian kembali dilakukan terutama di kawasan Liang Bua. Di sana terdapat sebuah goa yang menjadi lokasi penelitian sebelumnya. Di beberapa titik dalam goa itu dilakukan penggalian hingga kedalaman yang lebih dari sebelumnya. Penggalian ini tentu saja tidak mudah dan berisiko, misalnya longsor. Untuk ini dilakukan pelapisan dinding galian dengan papan sedemikian rupa sehingga lebih aman. Penelitian ini tentu saja tidak hanya melibatkan para ilmuan tetapi orang lokal untuk melakukan pekerjaan asistensi seperti penggalian, pengayakan sampel, angkut-mengangkut dan sebagainya. Terlihat di slide presentasi Pak Gert ada foto beberapa orang yang bekerja dengan gembira walaupun nampak mereka tidak begitu fasih melafalkan Phitekantropus erectus 🙂

Pada penelitian ini, penentuan umur (dating) dilakukan dengan radioaktivitas menggunakan tiga materi. Metode ini terbukti akurat dan bisa diterima oleh para ahli. Penentuan umur metode ini juga dikenal dengan OSL dating, singkatan dari Optically Stimulated Luminescence. Berikut definisinya dalam bahasa Inggris ”Luminescence dating is a form of geochronology that measures the energy of photons being released. In natural settings, ionizing radiation (U, Th, Rb, & K ) is absorbed and stored by sediments in the crystal lattice. This stored radiation dose can be evicted with stimulation and released as luminescence. The calculated age is the time since the last exposure to sunlight or intense heat. The sunlight bleaches away the luminescence signal and resets the time ‘clock’. As time passes, the luminescence signal increases through exposure to the ionizing radiation and cosmic rays. Luminescence dating is based on quantifying both the radiation dose received by a sample since its zeroing event, and the dose rate which it has experienced during the accumulation period. The principal minerals used in luminescence dating are quartz and potassium feldspar.” Definisi ini diambil dari situs USGS. (Jika ada penulis yang mengutip langsung seperti ini, biasanya ada dua kemungkinan: pertama, penulis ingin agar pembaca tidak tersesat dan mengacu pada sumber terpercaya, kedua karena penulis sebenarnya tidak paham persoalannya. Silahkan Anda simpulkan sendiri 🙂 )

Dalam penggalian oleh tim gabungan ini ditemukan beberapa hal menarik seperti abu gunung api putih yang berumur sekitar 11 ribu tahun lalu, ada juga tulang dan artefak batu yang berumur 15 ribu tahun lalu (kalau penggaliannya tahun 2001, apa artinya tulang itu kini berumur 15.008 tahun ya?- ribet juga nanti kalau tulangnya minta pesta ulang tahun).

Ditemukan juga fosil komodo alias Varanus serta fosil burung bangau raksasa dari Liang Bua yang besarnya lebih dari manusia kerdil yang kelak ditemukan. Yang menarik adalah penemuan fosil Stegodon atau gajah purba yang didominasi oleh 90% individu bayi dan anak Stegodon. Ditemukan juga bahwa fosil2 tersebut berserakan dan ada yang terbakar. Hal ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa Stegodon itu dibunuh dan dimakan. Yang dijadikan korban adalah anak-anak karena lebih mudah penangkapan dan pembuhuhannya. Ini juga yang mengarahkan pada kesimpulan bahwa di lokasi itu sudah ada peradaban (pembunuhan memang adalah salah satu tanda peradaban. Ternyata sudah begitu dari dulu).

Temuan-temuan yang ada membuat para peneliti bisa merekonstruksi kondisi Liang Bua sekitar 18 juta tahun lalu. Dengan merekonstruksi lokasi temuan, disimpulkan di mana lokasi kering, di mana danau, di mana tempat para makhluk bekerja dan sebagainya. Dari fosil yang ditemukan juga rekonstruksi betapa gajah purba jauh lebih besar dari gajah saat ini. Ada juga tikus raksasa sebesar kelinci. Pak Gert mengatakan bahwa tikus raksasa itu masih ada hingga kini di Flores dan diburu penduduk untuk dimakan (hmm… makan tikus?). Pak Gert juga menjelaskan berbagai artefak batu yang ditemukan di Liang Bua dan beberapa tulang yang ditemukan memiliki bekas goresan artefak batu. Ini semakin menguatkan kesimpulan bahwa memang ada tindak kekerasan terhadap makhluk-makhluk tersebut. Penelitian pun dihentikan pada titik tertentu, dan peneliti dari luar negeri kembali ke negaranya.

Dua hari sebelum lubang-lubang galian penelitian ditutup, tim peneliti Indonesia menemukan sesuatu yang menakjubkan. Awalnya dikira fosil bayi atau anak-anak karena ukurannya yang kecil, tetapi kemudian ditemukan adanya gigi geraham dewasa. Temuan ini kemudian disimpulkan sebagai fosil manusia kerdil Homo floresiensis. Karena ukurannya yang kerdil (1-1,2 meter) makhluk ini dikenal dengan Hobit. Pak Nadir bertanya, mengapa dinamai hobit, mengapa bukan nama salah seorang penelitinya misalnya. Pak Gert menjelas karena munculnya bersamaan dengan populernya film the Lord of the Ring. (kalau masih tidak paham juga ada hubungan apa antara hobit dengan Lord of the Ring, silakan tanya Tante Google) Pak Nadir berkelakar, harusnya dinamai Jablay saja. Peserta tergelak. Mengapa Jablay, karena istri-istri para arkeolog jarang dibelai, suaminya lebih tertarik membelai fosil. Mbak Indah senyum-senyum saja di sebelah. Yang lain tertawa.

Fosil tersebut dibawa ke Jakarta untuk diteliti lebih lanjut dan dikonservasi. Yang menarik adalah fosil ini ditemukan dalam keadaan hampir utuh. Susunan tulang-tulangnya masih anatomis terutama antara kaki dan pinggul. Ini menunjukkan bahwa ketika tertanam, tulang itu masih dibungkus kulit dan daging. Ketika berada di Jakarta, Prof. Soejono meminta Prof. T. Jacob untuk membantu analisisnya. Prof. Jacob meminta agar tulang dibawa ke Jogja karena alasan kesehatan beliau yang tidak memungkinkan terbang ke Jakarta. Akan tetapi para penemu tidak bersedia mengingat kondisi fosil yang baru diawetkan dan rawan rusak. Aknirnya tim meminta kesediaan ahli dari Australia untuk membantu analsisnya, seorang pakar dari University of New England. Salah satunya adalah untuk kecepatan analisis karena temuan ini luar biasa sehingga perlu segera dipublikasikan.

Menurut Pak Gert, ini juga yang menjadi cikal bakal kontroversi. Hal lain adalah ketika dilakukan konperensi pers yang dilakukan di Australia dan Jakarta. Semua ahli dunia dan pers datang hanya ke Australia, sementara di Jakarta sepi. Sehari kemudian meledaklan berita di dunia, ahli Australia menemukan hobit di Flores. Ini yang membuat ahli Indonesia, termasuk Prof. Jacob merasa tidak terima. Kenyataannya, penemuan itu dilakukan oleh tim Indonesia. Hal selanjutnya yang menjadi kontroversi adalah volume otak hobit yang hanya sekitar 400 centil iter (cl), tidak layak disebut homo karena syarat homo adalah berotak dengan volume minimal 600 cl. Namun begitu, kecerdasannya yang ditunjukkan dengan kemampuannya membuat alat batu, membuktikan bahwa mereka layak disebut homo (ingat, homo di sini berarti manusia, bukan yang lain). Mungkin harus ada pendefinisian ulang tentang kriteria spesies homo.

Prof. Jacob sendiri tidak setuju bahwa itu adalah spesies baru tetapi manusia biasa yang kerdil karena penyakit. Selain itu, sekarang pun masih ditemukan manusia kerdil/bertubuh kecil di Flores. Hal lain yang membuat Prof. Jacob tidak percaya adalah umur fosil. Hal ini dibantah oleh mereka yang pro dengan menunjukkan bahwa hobit ini tidak memiliki dagu seperti halnya manusia. Sementara manusia kerdil di Afrika saja, meskipun hampir sama kerdilnya, tetap memiliki dagu seperti manusia modern. Dagu ini penting bagi ruang untuk lidah agar bergerak leluasa sehingga manusia bisa berbicara. Selain itu, orang kerdil yang sekarang ada di Flores memiliki proporsi tubuh yang sama dengan manusia normal, sementara hobit ini tidak. Untuk tingginya yang hanya 1-1,2 m, mereka memiliki pinggul dan kaki yang besar, berbeda dengan manusia modern. Ini adalah spesies yang berbeda dari manusia sekarang.

Penelitian pun berlanjut dengan membandingkan secara detil misalnya pergelangan tangan, tulang tungkai kaki, jari kaki, gigi, dan sebagainya. Hingga kini, keraguan dan ketidaksepakatan masih terjadi dan penelitian masih tetap berlanjut. Pak Gert menyampaikan, jika ditemukan setidaknya lima individu fosil lagi, maka dunia akan percaya, katanya.

Para ahli yang pro juga menyampaikan bahwa hobit itu bisa kerdil mungkin karena mereka terdampar dan terisolasi di pulau. Sebagai contoh yang menguatkan, ada orang yang selamat dari tsunami aceh, padahal sudah berhari-hari di tengah laut. Hobit ini mungkin juga terdampar di sana karena tsunami. Untuk menguatkan teori ini sekelompok orang pernah melakukan simulasi berangkat ke Flores dengan rakit yang dibuat dengan alat artefak batu dan bahan seadanya. Ini untuk mensimulasikan bagaimana hobit jaman itu bermigrasi ke Flores dan terisolasi di tempat itu. Meski demikian, Pak Gert sendiri menduga perpindahan makhluk ini tidak dengan rakit seperti yang disimulasikan ilmuwan itu.

Selain itu Pak Gert juga menyampaikan adanya cerita rakyat di Flores tentang Ebu Gogo. Ebu Gogo adalah sejenis manusia yang rakus dan suka mencuri makanan dari penduduk. Masyarakat di sana percaya bahwa Ebu Gogo pernah ada, bentuknya seperi manusia tetapi kerdil dan tidak bisa bicara, tetapi bisa mengikuti ucapan manusia (membeo). Hal ini mengarahkan pada keyakinan terhadap hobit yang ditemukan. Dengan bentuk rahang sedemikian rupa tanpa dagu, memang hobit sulit untuk berbicara seperti manusia sekarang. Memang sangat menarik menyimak pendekatan para ilmuan sejarah manusia ini menjustifikasi teori atau pendapatnya.

Diskusi berlangsung sangat seru dengan berbagai pertanyaan dan komentar. Mas Kresno yang sering berlayar di sekitar kawasan penelitian termasuk Sulawesi mengatakan bahwa di sana ada banyak sekali gading gajah yang menjadi perhiasan atau harta berharga, padahal tidak ada gajah di daerah itu. Apa mungkin ini adalah gading dari gajah purba atau gajah lain seperti ditemukan peneliti itu, demikian beliau bertanya. Pak Gert menduga ini adalah hasil perdagangan atau barter ketika zaman VOC, bukan berasal dari gajah purba di daerah tersebut.

Bli Dodiek yang juga mempelajari geologi, berkomentar tentang penentuan umur suatu lapisan/endapan. Lebih jauh lagi, dengan metode tertentu memang bisa dibuktikan bahwa kawasan yang kini daratan dulunya mungkin adalah lautan, misalnya dengan bukti fosil hewan laut yang terperangkap di lapisan tanah tertentu. Mas Sayuti juga aktif bertanya dan berkomentar, membuat suasana diskusi semakin hidup.

Pak Nadir kemudian memberi komentar tentang adanya keraguan atau sikap skeptis setiap kali ditemukan sesuatu yang baru. Hal ini, menurut beliau, positif karena membuat ilmuwan berhati-hati sekaligus tidak puas dengan apa yang ditemukannya. Akan selalu ada usaha untuk menggali lebih jauh lagi. Pak Nadir mencontohkan, hal ini tidak selalu terjadi di ranah agama atau kepercayaan. Banyak orang yang kadang menerima begitu saja, tanpa ada keberanian atau kemauan mengkritisi. Padahal, jika didekati dengan penelitian ilmiah, sebuah mitos atau kepercayaan mungkin bisa dipecahkan atau malah ada benang merah atau kesesuaian dengan ilmu pengetahuan. Beliau mencontohkan kasiat air zamzam, misalnya yang sepertinya belum pernah diteliti tetapi dipercaya begitu saja.

Pak Gert memberi catatan akhir bahwa jika temuan ini diakui dunia sebagai spesies baru maka sangat mungkin kebenaran sejarah manusia perlu ditata ulang. Mungkin akan terbukti bahwa sejarah manusia tidak berawal di Afrika seperti yang dipercayai sekarang tetapi justru dari Asia. Semua memang masih misteri dan para ilmuwan masih tetap berusaha menyingkap misteri ini. Para peserta diskusi dan pembaca ulasan ini silahkan saja tidak puas atau bahkan skeptis karena ketidakpuasan dan skeptisisme positif akan menjadi energi untuk mencari dan terus menggali. Sampai jumpa pada diskusi berikutnya.

Disclaimer:
Ulasan ini bukanlah tulisan ilmiah. Jika terjadi kesalahan atau kekurangtepatan informasi, pastilah kesalahan ada pada pihak penulis, bukan pada Pak Gert, apalagi pada peserta, sama sekali bukan. Komentar spesifik mengenai ulasan ini bisa dilayangkan langsung kepada penulisnya.


Tanggapan

  1. bagus dah selalu ada laporan… biar nggak hadir bisa mengetahui info. makasih pak Andi.. (I know its not easy to write such a long report anyway…)

  2. Wah asyiknya ada forum diskusi semacam ini. Kenapa dulu kok gak ada ya?

  3. @widy: Alasannya karena Pak Widy tidak memulainya dulu he he he

    @iccha: Thanks Pak Iccha… kalau saya bisa nulis panjang begini, artinya lagi nggak mood nyentuh tesis 😀

  4. Makasih Andi atas laporannya. Menarik sekali ya isu mengenai hobit ini. Saya dulu pernah punya cita-cita jadi arkeolog (gara-gara nonton film Indiana Jones!)…tapi takdir menentukan harus jadi lawyer..he..he..he. Sayang sekali ngga ikut diskusi. Padahal beberapa kali ketemu Pak Gert…tapi ngga pernah berani tanya macam-macam. Mudah-mudahan nanti kalo sudah balik ke Gong bisa ngobrol dengan beliau. Tapi ngomong-ngomong…kok dari jajaran kaum ibu-nya yang hadir cuma mbak Indah? Mungkin lain kali topik diskusinya harus terkait dengan isu perempuan supaya banyak ibu-ibu yang datang.

  5. Thanks resumenya….mau lagi deh..

    • bagus bang andi ginting. jadi wawasannya lebih dari sekedar maritim & politik ya. kaitannya apa ya. semoga ada jawaban

  6. ibu2 gak ada yang datang,termasuk saya…karena saya g tau info ttg acara ini sebelumnya…he he…mgkn laen kali butuh publikasi, supaya smua ibu2 bisa nimbrung…menggali ilmu n mempererat persaudaraan..

    buat mas Andi..2 thumbs up!!

  7. @nurul
    Matur nuwun komentarnya Mbak. Sebenarnya undangan ini sudah dipublikasikan di tiga milis dan di blog ini juga. Nanti jenengan saya undang masuk milis ya.

  8. @Selvie: maksudnya diskusi tentang hobit cewek, gitu? 😀

    @Yusliandi
    Thanks Bang Ginting..nanti kita update terus 🙂

  9. Diskusi yg menarik…
    Mungkin temen2 sudah pernah baca pendapatnya Prof. T Jacob yg di upload di Harun Yahya.
    Artikel 1:
    http://us1.harunyahya.com/Detail/T/724BBCSO189/productId/4544/PERKEMBANGAN_PENTING_SEPUTAR_MANUSIA_FLORES

    Artikel 2:
    http://us1.harunyahya.com/Detail/T/724BBCSO189/productId/4541/PERKEMBANGAN_TERAKHIR_TENTANG_MANUSIA_FLORES

    Maaf bagi yg kurang berkenan..

    Salam Kenal,
    Unimelb

  10. Ini penemuannya yg mengesankan atau pembawaan tulisannya yg dikemas sangat menarik. Sangat santai tanpa mengurangi bobot ilmiahnya shg kami yg slalu ngantuk pas pelajaran IPS saat SMPpun bisa mengerti 🙂 Klo semua guru IPS seperti Bapak pasti byk pemuda Indonesia yg bercita2 menjadi Arkeolog.

  11. Thanks P Gert dan m Andi…menarik sekali ya…..kemarin sudah mau datang loh, …tapi liat jam sudah 10.30….ga’ enak keliatan banget kalo ngaret…….ternyata acara nya telat ya…jadi nyesel nie kenapa ga datang aja…next time kalo telat berarti ga apa2 ya….

  12. Wh,krenz2 pak andi.. Btw,tulisan ini mmbuktikan slh satu dari bnyk video2 di intrnet yg memuat”strange creature”tag kr cm boong2an,twny ad jg yg nyata..
    Btw,kpn ke geodesi lg pak?

  13. […] dengan gaya yang santai dan gaul untuk mengurangi tingkat keseremannya. Saya menuliskan tentang Homo floresiensis dalam blog indowollongong selepas diskusi bersama Pak Gert. Sebelumnya saya juga pernah menulis […]

  14. wakhhhh……………..,,,,,,

    kangen sama wollongong! 😥

  15. kapan yah bisa ke wollongong

  16. salam kenal. dg dasar keilmuan saya jd pingin tau gimana belajar psikologi manusia purba dari fosilnya atau artefak ?
    jadi selain geologi kita jadi lebih mendalami kesejarahan manusia dari sisi lain. hem.. ada gak jurusan ilmu itu di wollongong ? siapa tahu bisa lanjut studi kesana. dulu sih saya pingin jadi arkeolog skrg malah jadi psikolog. ntar bisa jadi psikolog purbakala ya. hehe..buat bang ginting, pa kabar

  17. Saya baru tahu info ini pak Andi. Maklum waktu acara ini di adakan, saya belum tiba di Gong. Ditunggu acara selanjutnya ya 🙂
    Terima kasih sudah berbagi info.

  18. Bagus Mas Andi, baru membaca sekarang, mengenang masa ada Pak Kresno dulu, syukur nanti kalau Pak Gerd, Mas Rully dan Mas Dida datang dari Flores bisa diadakan obras untuk sharing informasi, two thumb untuk Bli Andi atas laporannya, sehingga memungkinkan saya bisa membayangkan diskusi masa lalu yg saya belum nyampe ke Wollongong, Matur Suksma.


Tinggalkan Balasan ke widy Batalkan balasan

Kategori